Iron Man. Terminator Salvation. Star Trek.
Penggemar film atau bukan, hampir semua orang mengenali judul film-film
box office di atas. Tapi tahukah Anda bahwa salah satu yang ikut “bertanggung jawab” atas kecanggihan
special effects film-film tersebut adalah seorang anak muda asli Indonesia?
Andre Surya
Perkenalkan, Andre Surya.
Namanya muncul di kredit film
Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan
Iron Man 2, sebagai Digital Artist. Dia juga terlibat dalam pengerjaan film
Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Surrogates, dan
Transformers: Revenge of the Fallen.
Pria kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1984 ini adalah satu-satunya
digital artist asal Indonesia di divisi Industrial Light and Magic (ILM) Lucasfilm Singapore. Lucasfilm sendiri adalah salah satu
production company tersukses di dunia, yang didirikan tahun 1971 oleh George Lucas, sutradara
Star Wars.
Pria yang kini berdomisili di Singapura ini sekarang sedang sibuk mengerjakan proyek film besar yang rencananya akan dirilis dalam waktu dekat. Tapi ia masih menyempatkan diri untuk berbincang dengan editor
Yahoo! Indonesia supaya Anda semua bisa mengenalnya lebih dekat.
Coba ceritakan siapa itu Andre Surya.
Saya lahir di Jakarta, 1 Oktober 1984. Lahir dan dibesarkan di kota ini. Selain hobi main bola, saya juga punya ketertarikan di bidang 3D. Saat ini saya single dan tinggal di Singapore, bekerja di divisi Industrial Light and Magic Singapore di bawah Lucasfilm Singapore.
Belajar 3D dari mana?
Saya dulu kuliah di Untar, ambil jurusan Desain Komunikasi Visual. Tapi kemudian saya dapat kesempatan untuk kerja di Polaris 3D, sebuah perusahaan
advertising and architectural visualization di Jakarta. Setelah itu saya memutuskan untuk terus bekerja dan nggak melanjutkan studi saya di Untar. Jadi saya di Untar cuma satu tahun, terus lanjut ke Kanada untuk ambil diploma di bidang Film and Special Effects di Vanarts, sebuah sekolah film di Vancouver. Tapi sebagian besar pengetahuan dan keterampilan 3D justru saya pelajari sendiri tanpa
training dan sekolah. Saya udah mulai mempelajari Computer Graphic sejak kelas 1 SMA. Jadi kalo dihitung, kira-kira 10 tahun yang lalu.
Apa aja prestasi yang udah pernah kamu capai?
Saya beberapa kali memenangkan penghargaan, baik lokal maupun internasional. Contohnya, gambar buatan saya yang berjudul
Somewhere in the Sky pernah ditampilkan di CGOVERDRIVE, konferensi Computer Graphic terbesar di Asia. Gambar itu juga memenangkan Excellence Award di buku
Elemental 2 terbitan Ballistic Publishing dan Best Artwork Awards di Indocg Showoff Book, sebuah buku kumpulan CG art Indonesia. Lalu gambar saya yang berjudul City of Enhasa juga memenangkan juara satu di Future World Contest di www.3dkingdom.org
Jelaskan dong seperti apa pekerjaan seorang digital artist.
Digital artist mengerjakan banyak hal seperti
modelling, layout, lighting, dan compositing.
Modelling itu proses pembuatan model itu sendiri, seperti mobil, robot, dan sebagainya.
Layout itu proses
matching camera CG (computer graphics) dengan
background aslinya.
Lighting itu proses kreatif agar 3D yang di-
produce terlihat menarik dan menyatu dengan
background-nya aslinya dalam
scope posisi cahaya. Sedangkan
compositing itu proses penyatuan semua elemen yang ada.
Di dalam sebuah film, rata-rata ada lebih dari 70 orang
digital artist, terutama bila film itu skala besar, seperti
Iron Man 2. Saya bekerja dalam tim yang masing-masing punya
skill dan
role sendiri.
Apa yang membuat kamu tertarik untuk bekerja di bidang ini?
Karena ini hobi saya. Saya suka banget mengerjakan 3D dan saya juga dari dulu memang ingin bekerja di industri film. Buat saya ini adalah pekerjaan impian. Waktu masih kuliah, kadang-kadang saya mengkhayal bagaimana rasanya mengerjakan
visual effects untuk sebuah film besar dan melihat nama kita muncul di
credit title film itu. Sekarang semuanya udah benar-benar terwujud.
It’s simply a dream come true!
Apa film pertama yang kamu kerjakan?
Proyek
feature film pertama saya itu
Iron Man. Film ini juga yang saya anggap sebagai batu loncatan. Di situ saya ngerjain bagian
lighting saat
Iron Man terbang pertama kali.
Bagaimana ceritanya sampai bisa bekerja untuk Lucasfilm?
Ceritanya lumayan panjang sih, dan nggak gampang juga. Sederhananya begini deh. Sejak wawancara pertama sampai akhirnya saya diterima kerja di Lucasfilm itu membutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Awalnya saya wawancara di Ottawa, Kanada, lalu wawancara lewat telepon oleh Lucasfilm Singapore, lalu ada wawancara kedua, dan baru setelah itu lah saya dikabari bahwa saya diterima.
Waktu itu memang melamar ke Lucasfilm?
Saya ngelamar di Lucasfilm US sewaktu saya sudah lulus sekolah tapi dikarenakan visa kerja US yang cukup sulit dan mereka membuka studio di Singapore maka saya ditransfer kesana. Ada beberapa orang Indo yang kerja di Lucasfilm Singapore, terutama di bidang IT, games, dan TV series, tapi di bidang Visual effects untuk feature film (ILM), artistnya sekarang ini hanya saya satu-satunya yang orang Indonesia.
Somewhere in the Sky, gambar Andre yang banyak memenangkan penghargaan.
Apa keterampilanmu yang paling dibanggakan?
Saya paling suka lighting, dan
and I feel that it’s my best skill.
Dari semua film yang pernah kamu kerjakan, yang mana yang paling berkesan?
Yang paling
exciting adalah
Transformers: Revenge of the Fallen, soalnya sebagian besar tugas saya di proyek itu adalah mengerjakan
lighting.
Apa suka dan duka yang dialami sebagai digital artist?
The best part is, kamu melakukan hal yang paling kamu sukai, dan dibayar untuk itu. Plus, melihat nama kita terpampang di
credits sebuah
feature film ternama itu benar-benar hal yang tak ternilai. Kekurangannya…, jujur aja saya nggak bisa menemukan apa nggak enaknya jadi
digital artist. Jadi jawabannya:
there is no worst part of being digital artist for me.
Apa film favorit kamu?
Sampai saat ini sih
Avatar masih jadi film favorit saya. Secara teknologi juga film ini yang menurut saya paling oke. Saya ingin suatu hari nanti bisa terlibat dalam proyeknya James Cameron.
Saat ini 3D sedang jadi trend di industri film. Menurut kamu, sampai berapa lama ini akan bertahan?
Saya rasa 3D akan bertahan cukup lama dan masih akan jadi trend hingga 10 tahun ke depan, atau bahkan lebih.
Menurut kamu, mungkinkah filmmaker Indonesia membuat film 3D dengan kualitas baik?
Saya yakin bisa. Saya sendiri kenal beberapa orang Indonesia yang sangat berbakat dan
skill mereka juga bertaraf International. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan besar di bidang 3D di luar negeri. Kalau saja mereka semua balik ke Indonesia dan membuka satu perusahaan dengan kualitas standard International, dengan bakat dan
skill yang mereka punya, saya rasa sangat memungkinkan bila Indonesia menghasilkan film-film dengan kualitas standard International.